29 April 2014

Pernyataan Ida Prahastuty Dibantah GMNI,Pengangguran Terjadi karena Pembangunan Tidak Merata

JAN29



 
Senin, 19 Agustus 2013 , 08:51:00
 
BALIKPAPAN-Pernyataan Ketua Komisi IV DPRD Balikpapn, Ida Prahastuty S Sos yang menyebutkan, pengangguran adalah beban pemerintah kota menunai tanggan serius dari Ketua DCP GMNI Balikpapan Adhitiyo Yudho Abadi. Ia menilai, seharusnya sebagai wakil rakyat tidak perlu berstatemen seperti itu.
“Setelah membaca berita media cetak hari ini tentang pemberitaan yang membahas tentang urbanisasi, saya sedikit agak kecewa dengan statemen Ibu Ida Prahastuty S Sos (Ketua Komisi IV DPRD Balikpapan) yang mengatakan pengangguran jadi beban pemerintah kota. Bagi saya, seharusnya sebagai wakil rakyat yang sudah pastinya refresentasi dari masyarakat tidak perlu berstatemen seperti itu.
Ada beberpa hal yang menjadi penilaian saya sendiri terlepas saya sangat mengapresiasi pola pemerintah Kota Balikpapan dalam sistem managemen kependudukan dalam rangka mengkontrol kepadatan penduduk, mengkontrol kondusifitas kota, mengkontrol kemacetan, dan mengkontrol tingkat ekonomi kota,’ tutur Adhitiyo Yudho Abadi, yang juga sekretaris PK KNPI Balikpapan Tengah ini.
Menurut Adhi, sapaan akrapnya Adhitiyo Yudho Abadi, pengangguran itu harusnya menjadi cerminan negara, karena hal ini negara belum mampu menyediakan lapangan perkejaan bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan tidak meratanya pembangunan di daerah di Indonesia juga menjadi salah satu hal yang membuat urbanisasi itu lahir. Padahal, tugas negara sesuai amanah UUD 1945 yaitu negara wajib mensejahterakan kehidupan bangsa.
“Mengembalikan semangat untuk bertani saya pikir bisa menjadi salah satu solusi untuk polemik ini, dengan catatan negara menjamin harga pupuk, harga alat produksi pertanian yang murah dan kepastian harga hasil panen yang menjajikan agar keinginan masyarakat desa untuk datang ke kota dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya bisa berkurang.
Selain untuk menekan urbanisasi hal itu ini bisa menjadi salah satu alternatif kita mengurangi upaya negara dalam mengimpor beras,” paparnya. “Perlu adanya komunikasi antar pemimpin daerah dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, bisa saja antar pemimpin daerah memfasilitasi warganya bisa bekerja di daerah lain di sekitar kota tersebut.
Contohnya, pemerintah kota (Pemkot) Balikpapan membangun komunikasi dengan pemerintah kabupaten (Pemkab) PPU menyediakan lapangan perkejaan di sektor pertanian memandang potensi daerah PPU di sektor pertanian masih terbuka, Pemkot Balikpapan dengan Pemkab PPU di sektor perkebunan atau yang lainnya,” bebernya lagi. Ia menilai, otonomi daerah (Otoda) memiliki efek negatif selaku kekuasaan daerah.
“Benar Otoda sebagai hak kuasa daerah mengelola daerahnya sendiri lebih mandiri, namun akhirnya bukan semangat kebangsaan yang lahir dalam hal ini namun semangat sektoral kedaerahan yang muncul. Bukan bagaimana mensejahterakan rakyat Indoesia lagi, tapi Pemkot Balikpapan harus berpikir tentang mensejahterakan masyarakat Balikpapan dan Pemkot Samarinda berpikir tentang mensejahteraakan masyarakat Samarinda dan begitu seterusnya, hingga yang lahir adalah statemen dari Ketua Komisi IV DPRD Balikpapn itu, bahwa pengangguran menjadi beban pemerintah kota.
Efek negatif dari Otoda ini sudah seperti hukum rimba, daerah yang tidak memilik SDA di sektor mineral dan batu bara (minerba) akan jauh tertinggal, karena mainstream yang dibangun lebih besar sektor pertambangan dibandingkan dengan sektor pertanian atau sektor laut,” urainya. Adhit menjelaskan, efek negatif yang ditimbulkan ini harus dikurangi seminim mungkin dengan komunikasi yang baik antarpemerintah daerah, dengan DPRD sebagai sosial kontrol di dalamnya karena DPRD adalah representasi dari rakyat.
“Negara bukan perusahaan dan rakyat bukan babu yang ketika polemik masalah lapangan pekerjaan selalu dipandang sebagai bentuk beban negara. Pola pikir yang seperti itu sudah keluar dari rel dari kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan apabila pola pikir seperti itu terus ada maka jangan harap ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan kuwajiban negara mensejahterakan kehidupan bangsa,” tutupnya.(bp-14)

0 comments:

Post a Comment